Rabu, 19 November 2014

Aliran Filsafat Positivisme Dalam Dunia Pendidikan

A.    Pengertian Positivisme
Moritz Schlick
            Positivisme merupakan Aliran pemikiran yang membatasi pikiran pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah.
Positivisme (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.
Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini.
Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.
Salah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain teori tentang makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.


B.     Kajian Ontologis dan Epistemologis Paham  Positivisme
Positivisme Logis menyajikan suatu fusi dari empiris yang berasal dari Hume, Mill, dan Mach, dengan logika Simbolis sebagaimana ditafsirkan oleh L. Wittgenstein. Menurut teori ini, semua kalimat yang bermakna harus bersifat analitik maupun bersifat sintetik. Kalimat-kalimat analitik itu bisa betul (tautologi) dan bisa salah ( kontradiksi ) semata-mata karena bentuk logisnya dan tidak mengandung informasi faktual. Kalimat sintetik, atau empiris,merupakan laporan tentang pengamatan indera atau pun generalisi yang didasarkan pada pengamatan empiris. Kalimat-kalimat sintetik bermakna sejauh dapat di verifikasi. Pernyataan metafisik dan teologis tidak cocok dengan kedua Kategori di atas dan di hilangkan karena pernyataan semu yang tak bermakna.

Rudolf Carnap
Rumusan asli ini (dari M.schlick, R.Carnap, O.Neurath, dan lain-lain) lambat laun mengalami serangkaian modifikasi saat kekurangan-kekurangannya menjadi semakin jelas. Verifikasi, sebagai kriterium keberartian, secara berturut-turut dimodifikasi ke dalam Verifikasi prinsip, konfirmabilitas, dan akhirnya desakan bahwa evidensi empiris harus memainkan suatu peranan yang berarti dalam penerimaan suatu pernyataan ilmiah.
Positivisme dewasa ini menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen : bahasa teoritis, bahasa observational, dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa observational yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observational dengan kaidah-kaidah korespondensi.
Kendati positivisme logis dikembangkan sebagai suatu basis interpretatif bagi ilmu-ilmu alam, ia sudah diperluas ke ilmu-ilmu manusia. Dalam etika ( Ayer, Stevenson ) ia berupaya menjelaskan makna dari pernyataan-pernyataan yang menyatakan kewajiban moral sehubungan dengan konotasi emotifnya. Dalam yurisprudensi, ketentuan-ketentua dan larangan-larangan yang ditetapkan oleh komunitas dilihat sebagai basis terakhir dari hukum. Dengan demikian ditolak pandangan akan hukum kodrat atau norma-norma trans-empiris, misalnya, imperatif kategoris kant.
Positivisme secara enomologi berasal dari kata positive, yang dalam bahasa filsafat berarti suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, yang dapat dialami sebagai suatu realita. Hal ini berarti apa yang disebut dengan positif bertentangan dengan yang ada dalam angan-angan (khayalan), atau apa yang berada dalam konstruksi akal manusia. Dapat disimpulkan pengertian positivisme secara terminologis adalah suatu paham yang dalam pencarian kebenarannya bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi.
Positivisme merupakan paham tentang hukum dan pengetahuan, yang hanya mengakui kebenaran hukum yang berlaku pada suatu saat dan pada suatu tempat dimana suatu kejadian terjadi. Menurut Auguste Comte, falasafah hendaknya mengenai dan berpangkal dari peristiwa-peristiwa positif. Karena positivisme berpendapat bahwa segala pengetahuan mengenai hal-hal yang mengatasi pengalaman kita adalah spekulasi belaka, dengan kata lain positivisme adalah anti metafisika. Positivisme juga bertentangan dengan rasionalisme dan idealism, namun seringkali sejalan dengan materialism, mekanisme, dan sensualisme.
Positivisme merupakan gerakan anti metafisika di dalam filsafat. Filosofi ini berakar kuat di Inggris. Akar dari Inggris adalah skeptisisme empiris dari David Hume di abad ke-18. prinsip verifikasi merupakan senjata utama dari paham ini. Mereka lebih menekankan penggunaan bahasa daripada sebuah pertanyaan. Salah satu tokoh dari paham ini adalah Ludwig Wittgenstein.
Positivisme memandang bahwa manusia dapat memiliki arti hidup. Hal ini sangat penting. Namun hidup itu sendiri tidak memiliki arti dari hal-hal yang ada. Manusia bisa memiliki keluarga, pekerjaan dan segala aktifitas yang lain, namun dibalik itu manusia memiliki lebih dari atau kurang dari itu. Paham ini juga menekankan bahwa karena bahasa tentang Allah, manusia dan kerusakkannya (keberdosaannya) tidak dapat diuji, maka itu tidak bermakna atau artinya beda dari maksud si pembicara. Hal ini menyiratkan bahwa pada dasarnya manusia tidak seperti dikatakan oleh bahasa agama – telah rusak (mengalami keberdosaan). Pernyataan ini bergantung kepada siapa yang berbicara dan siapa yang mendengarkan. Di sisi lain memahami kebenaran dan kesalahan bukan pada realitasnya, tetapi pada siapa yang berbicara dan siapa yang mendengarkan.
·         Kelemahan Paham  Positivisme
Kelemahan dari paham Positivisme ini adalah :
1)      Tidak adanya objektifitas untuk menentukan hukum, etika dan norma di dalam masyarakat.
2)      Realitas dipandang tidak lebih dari sekadar simbol, tergantung siapa yang berbicara dan mendengarkan.
3)      Secara tidak langsung menolak Allah di dalam arti yang sesungguhnya, dan menerima Allah di dalam simbolisme yang berkaitan dengan sesuatu.

C.    Kajian Aksiologis dan Kesimpulan Paham Positivisme
Dalam kehidupan sehari hari manusia dapat menggunakan paham positivisme dengan berdasarkan kepentingan saja, namun tidak dengan kehidupan beragama, karena agama adalah sebuah kepercayaan yang tidak mungkin dibuktikan secara apa yang di anut oleh para paham positivisme.
Pada dunia pendidikan kita juga dapat menggunakan bahkan sudah diterapkan oleh guru terdahulu kita yaitu mempercayai sesuatu dengan cara mengobservasinya terlebih dahulu dan ini mungkin terdapat banyak hal di dunia ilmu sains, namun pada kenyataannya semua ilmu juga harus dibuktikan terlebih dahulu terkecuali tentang agama.
Penganut paham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.
Pendidikan juga harus memiliki arti khusus dan tujuan untuk mencapai sebuah keberhasilah dalam pendidikan, namun hal ini juga harus di buktikan supaya tidak hanya menjadi angan angan belaka dan hal inilah yang berlawanan dengan paham positivisme.
Dapat disimpulkan pengertian positivisme secara terminologis berarti merupakan suatu paham yang dalam "pencapaian kebenaran"-nya bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal di luar itu, sama sekali tidak dikaji dalam positivisme.




REFERENSI :
http://dhanalana11.blogspot.com/2013/06/positivisme.html
http://wawanhariskurnia.blogspot.com/2012/12/filsafat-positivisme.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Positivisme
Louis O. Kattsoff (1986).Elements of philosophy.